Sabtu, 08 Oktober 2011

Potret Perjuangan Orang Miskin


Hidup tak selamanya indah. Mungkin kata tersebut lah yang tepat untuk melukiskan kehidupan penulis.  Meskipun tidah setragis Andrea Hinata ---dalam bukunya yang berjudul “Laskar Pelangi--- dan kawan-kawnnya. Namun semangat menggebulah yang mengantarkan penulis ke kampus kita yang tercinta yaitu  “Kampus Oren” ini.
Sebagaimana kisah anak-anak lain, pasti kisah penulis dimulai dari sekolah dasar (SD). Bersama delapan orang lainnya, penulis menjalani kegiatan belajar mengajar  di sekolahyang hanya mengandalkan empat ruang/lokal saja. Empat local inilah yang kemudian dibgi menjadi enam kelas dengan sekat tripleks sebagai pembatasnya. Namun tekad bulat takkan terganti oleh ruang kelas sejelek apapun.
Kisah menyedihkan yaitu saat penulis menduduki kelas tiga sampai kelas enam. Dimana pada saat itu tidak ada dana sepeserpun. Padahal semua buku dan alat tulis lainnya sudah tidak layak pakai lagi. Penulis merasa sangat sedih. Namun Tuhan berkehendak lain. Penulis mendapat beasiswa BKM (Bantuan  Khusus  Murid) sebesar Rp. 50.000 yang pada saat itu bernilai sangat besar. Kemudian dari uang tersebut, dibelikan tas, buku dan alat tulis serta sepatu. Semua alat-alat sekolah ini digunakan hingga  kelas enam SD bahkan beberapa pada SMP. Namun prestasi penulis tidak pernah turun meskipun instrument sekolah tidak mencukupi.
Setelah lulus ujian SD, penulis tidak tahu bahkan tidak ada bayangan sama sekali untuk melanjutkan  ke sekolah yang lebih tinggi. Baru pada akhir masa pendaftaran, penulis baru mendaftar ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdekat dari rumahya. Di kelas barunya penulis merasa sangat merasa aneh  karena. Hal ini karena setiap mata pelajaran diampu oleh masing-masing guru yang berbeda. Sedangkan di SD hanya tersedia 5 orang guru termasuk kepala sekolah. Masing-masing menjadi wali kelas sekaigus guru mata pelajaran di kelas tersebut. Sedangkan di SMP gurunya cukup ramai yaitu sekitar 24 orang.
Berkat kerja keras di waktu SD, penulis mendapat peringkat pertama diantara 60 siswa yang diterima di sekolah ini. Hal inipun berkelanjutan karena prestasi SD menjadi bintang kelas. Dilanjutkan ke SMP. Karena prestasi penulis yang cukup cemerlang, penulis ditawarkan untuk mengikuti olimpiade SMP tingkat kabupaten Bengkayang. Rasa senang tak dak dapat diungkapkan setelah mendengar cerita tersebut. Namun pada hari keberangkatan, kepala sekolah menyatakan bahwa sekolah tidak jadi ikut karena alas an biaya keberangkatan yang tidak mencukupi. Padahal penulis telah belajar semalaman untuk mempersiapkan olimpiade tersebut. Saat itu penulis menduduki kelas dua SMP kegagalan ini menyebabkan penulis drop sehingga tidak mau belajar selama beberapa minggu.
Setelah kejadian tersebut, penulis mendapatkan beasiswa dari PT PLN Persero untuk siswa miskin dan berprestasi. Beasiswa yang diberikan adalah sebesar Rp. 360.000.  uang tersebut sangat besar bagi penulis. Namun penulis merasa heran karena di kampungnya saja belum dilewati jaringan listrik, bahkan sampai sekarang. Uang ini digunakan untuk membeli sebuah sepeda ‘bekas’. Walaupun bekas namun cukuplah untuk menghilangkan letih. Karena sebelumnya penulis berjalan kaki untuk mencapai sekolah yang sejauh empat kilometer tersebut.
Setelah lulus ujian, penulis merasa sangat stress. Orang tua menyarankan untuk bekerja saja sebagai penebang dan pemikul kayu di hutan, seangkan penulis ingin tetap sekolah. Hal ini karena orang tua tidak lagi sanggup bekerja keras untuk membiayai sekolah. Penulis berusaha mengumpulkan dana dengan menjadi pemetik lada(sahang). Disini penulis berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 300.000. Namun uang tersebut masih kurang karena biaya pendaftaran adalah sebesar Rp 577.000. Nasib tak tak dapat dikira, seorang dermawan pun datang ---yang juga mantan guru SD---menambahkan uang pendaftaran. Penulis pun mendaftar pada hari terakhir pukul 11.50 tepatnya 10 menit lagi masa pendaftaran akan ditutup dengan nomor peserta 214.
Waktu masuk menjadi siswa baru, penulis hanya mendapat peringkat 7 dari 110 siswa yang diterima dan 104 lainnya tidak diterima. Karena masuk sepuluh besar maka penulis berhak untuk diajukan menjadi calon penerima beasiswa “Sampoerna Foundation”. Seleksinya meliputi pelajaran UAN ditambah UAS mata pelajaran IPA dan IPS. Dan hasilnya penulis berhasil menjadi yang pertama diantara Sembilan orang lainnya. Namun harus membuat rekening bank di kantor cabang Singkawang.
Di SMA  ini penulis mulai memukan jati dirinya untuk menyamakan ilmu dengan yang lain (meskipun sangat jauh kesamaannya). Penulis mulai masuk kelas XII  beserta 36 orang lainnya. Di kelas penulis diangkat menjadi ketua kelas. Namun jabatan ini termasuk sangat besar karena belum pernah menjadi ketua. Namun yang patut disyangkan adalah tidak pernah sama sekali mengikutu organisasi di sekolah ---hanya karena penulis tidak dekat dengan “senior”---termasuk OSIS.
Pada kelas XIIPA penulis berhasil mengharumkan nama sekolah. Penulis berhasil menjadi juara pertama dalam seleksi olimpiade kebumian tingkat SMA sekabupaten Bengkayang. Padahal pesertanya sebanyak 24 orangdan berasal dari dari orang-orang pintar dari tiap sekolah. Setelah menang di tingkat kabupaten, penulis dibawa ke tingkat provinsi. Pesertanya sebanyak 50 orang dari berbagai kabupaten dan kota se-Kalimantan Barat. Meskipun tidak menang, penulis merasa senang karena baru pertama kalinya ke ibukota provinsi. Namun uang tunjangan peserta sebesar Rp. 700.000 entah kemana lenyapnya dan tidak ada sampai ke tangan penulis.
Pada kelas XIIIPA, penulis mengalami dilemma dalam hidup yaitu “kerja atau kuliah”. Orang tua berharap bekerja, karena sudah tidak memungkinkan lagi untuk mmbiayai kuliah anak bungsunya ini. Namun pada semester genap, penulis mengajukan beasiswa Outreaching untuk program studi Pendidikan Kimia dan PMDK. Semua biaya ini didapat dari uang beasiswa Sampoerna Foundation. Pada penumuman PMDK, penulis tidak lulus sehingga mengecilkan hati penulis. Hal ini karena penulis idak mendaftar SELOK UNTAN (seleksi lokal Universitas Tanjungpura) dan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Namun selang beberapa minggu kemudian, pengumuman beasiswa Outreaching pun terbit di harian Pontianak Post. Penulis merasa sedih sekaligus gembira karena yang tercantum di pemenang program studi Pendidikan Kimia adalah ARDIANSAH dari SMAN 1 SUNGAI (tanpa kata RAYA KEPULAUAN). Setelah dihubungi maka memang benar penulis adalah pemenang ketiga dalam beasiswa Outreaching Universitas Tanjungpura.

Tidak ada komentar: