Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,1999) peningkatan adalah proses, cara,
perbuatan, meningkatkan (usaha, kegiatan, dsb);dan kegiatan ialah aktivitas,
usaha, pekerjaan.Sampah adalah semua material yang
dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan
pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan tempat
perdagangan dikenal dengan limbah municipal yang tidak berbahaya (non
hazardous). Reijtjes dalam bukunya yang berjudul Pertanian Masa
Depan menyatakan bahwa sampah adalah bagian dari sesuatu yang tidak
dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal
dari kegiatan yang dilakukan manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi bukan
yang biologis.
Kompos adalah
hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang
dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam
kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi
dari J.H. Crawford, 2003). Sedangkan pengomposan adalah proses dimana
bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh
mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat
kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat
terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang
seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator
pengomposan. Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan
anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah
mencapai ±80%, sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai (Tim Penyusun PS. 2003: 263).
A. Komposisi Sampah
Berdasarkan
komposisinya, sampah dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Sampah Organik, yaitu sampah yang mudah membusuk
seperti sisa makanan, sayuran, daun-daun kering, dan sebagainya. Sampah ini
dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos;
2. Sampah
Anorganik, yaitu sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik wadah
pembungkus makanan, kertas, plastik mainan, botol dan gelas minuman, kaleng,
kayu, dan sebagainya. Sampah ini dapat dijadikan sampah komersil atau sampah
yang laku dijual untuk dijadikan produk lainnya (produk daur ulang).
Beberapa sampah anorganik yang dapat dijual adalah plastik wadah pembungkus
makanan, botol dan gelas bekas minuman, kaleng, kaca, dan kertas, baik kertas
koran, HVS, maupun karton; Di negara-negara berkembang komposisi sampah
terbanyak adalah sampah organik, sebesar 60 – 70%, dan sampah anorganik sebesar
± 30%.
B. Pengelolaan
Sampah
Agar
pengelolaan sampah berlangsung dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan,
maka setiap kegiatan pengelolaan sampah harus mengikuti filosofi pengelolaan sampah.
Filosofi pengelolaan sampah adalah bahwa semakin sedikit dan semakin dekat
sampah dikelola dari sumbernya, maka pengelolaannya akan menjadi lebih mudah
dan baik, serta lingkungan yang terkena dampak juga semakin sedikit. Tahapan
Pengelolaan sampah yang dapat dilakukan di kawasan wisata alam adalah:
a. Pencegahan dan Pengurangan Sampah dari Sumbernya
Kegiatan ini
dimulai dengan kegiatan pemilahan atau pemisahan sampah organik dan anorganik
dengan menyediakan tempat sampah organik dan anorganik disetiap kawasan
yang sering dikunjungi wisatawan.
b. Pemanfaatan Kembali
Kegiatan
pemanfaatan sampah kembali, terdiri atas:
1). Pemanfaatan sampah organik, seperti composting (pengomposan).
Sampah yang mudah membusuk dapat diubah menjadi pupuk kompos yang ramah
lingkungan untuk melestarikan fungsi kawasan wisata.
2). Pemanfaatan sampah anorganik, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Pemanfaatan
kembali secara langsung, misalnya pembuatan kerajinan yang berbahan baku dari
barang bekas, atau kertas daur ulang. Sedangkan pemanfaatan kembali
secara tidak langsung, misalnya menjual barang bekas seperti kertas, plastik,
kaleng, koran bekas, botol, gelas dan botol air minum dalam kemasan.
c. Tempat Pembuangan Sampah Akhir
Sisa sampah
yang tidak dapat dimanfaatkan secara ekonomis baik dari kegiatan composting maupun
pemanfaatan sampah anorganik, jumlahnya mencapai ± 10%, harus dibuang ke
Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA). Di Indonesia, pengelolaan TPA
menjadi tanggung jawab masing-masing Pemda.
Dengan
pengelolaan sampah yang baik, sisa sampah akhir yang benar-benar tidak dapat
dimanfaatkan lagi hanya sebesar ± 10%. Kegiatan ini tentu saja akan
menurunkan biaya pengangkutan sampah bagi pengelola kawasan wisata alam,
mengurangi luasan kebutuhan tempat untuk lokasi TPS, serta memperkecil
permasalahan sampah yang saat ini dihadapi oleh banyak pemerintah daerah.
Mengapa kita harus mengolah sampah?
Sampah, khususnya di daerah perkotaan
sering menjadi masalah. Timbunan sampah yang dihasilkan terus bertambah seiring
dengan bertambahnya penduduk kota. Sehari setiap warga kota menghasilkan
rata-rata 900 gram, dengan komposisi, 70% sampah organik dan 30% sampah
anorganik. Yang dimaksud sampah organik adalah sampah yang berasal dari benda
hidup, seperti sisa makanan, sisa sayuran, ikan, buah-buah, daun, ranting,
ampas kelapa dsbnya. Sedangkan yang termasuk sampah anorganik adalah, plastik,
kaleng, besi, plastik air kemasan, plastik sisa sampo, kaca, kain perca dan sebagainya .
Sebagian besar sampah di kota dibuang ke TPA. Namun pengolahan di TPA yang sebagian besar dengan sistem open dumping, justru sering menimbulkan masalah, mulai dari masalah kesehatan, pencemaran udara, air, tanah sampai masalah estetika. Beberapa kajian membuktikan, penangganan sampah dengan cara seperti itu akan menghasilkan gas polutan seperti methan, H2S dan NH3. Gas H2S dan NH3 yang dihasilkan, walaupun jumlahnya sedikit, namun dapat menyebabkan bau yang tidak enak. Sementara itu, masih banyak warga kota yang membuang sampah di sembarang tempat, misalnya sungai, saluran drainase atau rawa-rawa. Akibatnya sampah akan menyumbat saluran sehingga menyebabkan banjir. Di sisi kesehatan tumpukan sampah tersebut akan menjadi salah satu sumber penularan penyakit seperti disentri, kolera, pes dan sebagainya. Selain itu ternyata tidak sedikit warga kota yang menanggani sampah dengan cara dibakar. Cara-cara seperti justru dapat menimbulkan masalah serius. Karena sampah yang dibakar akan menghasilkan zat atau gas polutan yang tidak hanya berbahaya bagi lingkungan tetapi juga berbahaya langsung terhadap manusia.
Sebagian besar sampah di kota dibuang ke TPA. Namun pengolahan di TPA yang sebagian besar dengan sistem open dumping, justru sering menimbulkan masalah, mulai dari masalah kesehatan, pencemaran udara, air, tanah sampai masalah estetika. Beberapa kajian membuktikan, penangganan sampah dengan cara seperti itu akan menghasilkan gas polutan seperti methan, H2S dan NH3. Gas H2S dan NH3 yang dihasilkan, walaupun jumlahnya sedikit, namun dapat menyebabkan bau yang tidak enak. Sementara itu, masih banyak warga kota yang membuang sampah di sembarang tempat, misalnya sungai, saluran drainase atau rawa-rawa. Akibatnya sampah akan menyumbat saluran sehingga menyebabkan banjir. Di sisi kesehatan tumpukan sampah tersebut akan menjadi salah satu sumber penularan penyakit seperti disentri, kolera, pes dan sebagainya. Selain itu ternyata tidak sedikit warga kota yang menanggani sampah dengan cara dibakar. Cara-cara seperti justru dapat menimbulkan masalah serius. Karena sampah yang dibakar akan menghasilkan zat atau gas polutan yang tidak hanya berbahaya bagi lingkungan tetapi juga berbahaya langsung terhadap manusia.
Polutan yang dihasilkan akibat pembakaran
sampah dapat menyebabkan gangguan kesehatan, pemicu kanker (karsiogenik) bahkan
kematian. Sebagai gambaran, pembakaran 1 ton sampah akan menghasilkan 30 kg gas
CO, Gas yang jika dihirup akan berikatan sangat kuat dengan hemoglobin darah
sehingga dapat menyebabkan tubuh orang menghirup akan akan kekurangan O2 dan
menimbulkan kematian. Pembakaran sampah organik juga akan menghasilkan gas
methana. Membakar potongan kayu akan menghasilkan senyawa formaldehida yang
mengakibatkan kanker. Sampah organik yang masih agak basah seperti daun, ranting,
batang, sisa sayuran atau buah jika dibakar tidak akan semua terbakar dan
menghasilkan partikel-partikel padat yang akan beterbangan. Satu ton sampah
organik akan menghasilkan 9 kg partikel padat yang mengandung senyawa
hidrokarbon berbahaya. Salah satu diantaranya adalah benopirena. Menurut
beberapa kajian diketahui asap dari pembakaran sampah mengandung benzopirena
350 kali lebih besar dari asap rokok.
Di sisi lain, tidak semua sampah jika
dibuang ke alam akan mudah hancur. Butuh waktu berbulan-bulan, bahkan ada yang
puluhan tahun baru bisa hancur. Akibatnya jika volume sampah yang dihasilkan
warga kota banyak dan lama hancur, maka akan dibutuhkan lahan yang luas untuk
TPA. Sebagai gambaran, Kertas jika dibuang ke alam butuh waktu 2,5 bulan untuk
bisa hancur, Kardus butuh 5 bulan, kulit jeruk 6 bulan, busa sabun (Deterjen)
baru bisa terurai setelah 20-25 tahun, sepatu kulit yang dibuang ke halaman
baru bisa hancur setelah 20-40 tahun, kain nilon 30-40 tahun, plastik 50-80
tahun dan aluminium 80-100 tahun. Sementara itu ada satu jenis sampah yang
tidak bisa hancur sampai kapan pun, yaitu strefom. Keberadaan
warga miskin di kota seringkali menjadi kambinghitam karena dituding sebagai
penyebab kota kotor dengan sampah. Padahal faktanya banyak perumahan atau kampung
orang kaya yang justru menjadi sumber sampah utam di perkotaan. Dan tidak
sedikit pemulung yang kerap dimasukkan sebagai bagian dari warga miskin kota
yang justru “mengolah” sampah di kota sehingga mengurangi jumlah sampah yang
dibuang ke TPA.
C. Alat dan Bahan
Peralatan yang dibutuhkan dalam pengomposan secara aerobik terdiri dari
peralatan untuk penanganan bahan dan peralatan perlindungan keselamatan dan
kesehatan bagi pekerja. Berikut disajikan peralatan yang digunakan.
1. Wadah atau
plastik.
2. Sekop
3. Garpu/cangkrang
4. Saringan/ayakan
5. Termometer
6. Timbangan
7. Sepatu boot
8. Sarung tangan
9. Masker
Cara pembuatan kompos dari sampah organik:
1. Sediakan wadah berdiameter 10 cm (yang tidak dipakai
lagi), lubangi bagian bawahnya untuk saluran cairan coklat
(lindi) hasil pengomposan.
2. Dasar wadah itu diberi pasir.
3. Lalu sisa sayuran, sisa makanan ditumpuk di atas pasir
itu.
4. Pada hari ketiga setelah ada bau masam, sisa sayuran
dan makanan ditaburi kapur (dolomide) untuk menambah unsur hara hasil kompos.
5. Perciki air secukupnya. Kemudian tambahkan tanah
gembur secukupnya agar bau bisa tertahan.
6. Untuk lapisan berikutnya dapat mulai lagi dengan
diperciki air, diberi pasir, sisa sayuran/makanan, tanah gembur. Pembuatan
kompos dilakukan secara berlapis-lapis.
7. Untuk wadah berdiameter 10 cm
campuran tidak perlu diaduk, tetapi untuk wadah yang berukuran lebih besar
sebaiknya campuran diaduk.
Waktu yang diperlukan untuk menjadi
kompos sekitar satu setengah bulan. Tanda-tanda pengomposan sudah selesai
campuran menjadi hitam dan tidak bau. Selain sisa sayur/makanan, daun
tanaman yang kering bisa dikomposkan. Caranya, daun kering diremas-remas sampai
hancur, kemudian masukkan ke dalam wadah plastik, perciki air. Setelah satu
setengah bulan daun kering sudah menjadi kompos yang berwarna hitam. Kompos
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman, media tanam di rumah sendiri
atau jika dijual bisa menjadi sumber penghasilan tambahan.
Kompos yang baik memiliki beberapa ciri sebagai berikut :
Þ Berwarna coklat
tua hingga hitam mirip dengan warna tanah,
Þ Tidak larut dalam
air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspensi,
Þ Nisbah C/N
sebesar 10 – 20, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasinya,
G. Manfaat Kompos
Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:
Aspek Ekonomi :
1. Menghemat biaya
untuk transportasi dan penimbunan limbah
2. Mengurangi
volume/ukuran limbah
3. Memiliki nilai
jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya
Aspek Lingkungan :
1. Mengurangi polusi
udara karena pembakaran limbah
2. Mengurangi
kebutuhan lahan untuk penimbunan
Aspek bagi tanah/tanaman:
1. Meningkatkan
kesuburan tanah
2. Memperbaiki struktur
dan karakteristik tanah
3. Meningkatkan
kapasitas jerap air tanah
4. Meningkatkan
aktivitas mikroba tanah
5. Meningkatkan
kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)
6. Menyediakan
hormon dan vitamin bagi tanaman
7. Menekan
pertumbuhan/serangan penyakit tanaman
8.
Meningkatkan
retensi/ketersediaan hara di dalam tanah
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai
Pustaka.
Hapsari,
Martha Dian. 2008 PEMBUATAN PUPUK KOMPOS. Online (http://budikolonjono.blogspot.com/2009/06/kir.html)
Diakses Pada 15 Januri 20011.
Reijntjes.
1992. Dasar Pertanian Modern. Jakarta: Penebar Swadaya
Tim
Penyusun PS. 2003. Kamus Pertanian Umum. Jakarta: Penebar Swadaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar