Senin, 29 Februari 2016

Surat untuk Ibu

Hai ibuku. Aku sekarang sudah ada di Surakarta. Aku sangat merasa senang bisa berada disini. Namun, lebih senang lagi jika melihat senyuman mu. Aku menulis ini sambil menangis lo. Aku tidak berharap engkau membacanya. Aku tau engkau buta aksara. Aku yakin engkau pasti senang mendengar aku telah kuliah.

Semenjak setahun terakhir engkau begitu susah melepaskanku untuk sekolah lagi. Alasannya aku terlalu jauh dan tidak bisa pulang kalau aku rindu. Aku tau itu bu. Tapi aku tidak bisa menolak doamu yang terkabul. Engkau begitu bangga mengatakan aku kuliah lagi, walaupun engkau tidak tau kuliah itu apa.

Engkau begitu renta untuk bekerja. Semenjak kecil tidak pernah engkau mengeluh untuk menghidupi adik-adikmu. Setelah menikah, kalian bersama menghidupi aku dan kakak-kakakku. Entah seberapa besar tenaga, uang, pikiran yang kalian sumbangkan untuk kami. Aku tidak dapat menghitungnya. Mungkin dunia seisinya tidak dapat membayarmu.  Caramu mendidik ku untuk jadi anak yang baik selalu ku ingat. Bahkan aku tau engkau setiap hari mendoakan ku untuk selalu sukses dan mendapatkan apa yang ku inginkan.

Aku pernah mendengar engkau menjual semua perhiasan dan barang yang engkau miliki demi anakmu. Aku lagi kan? Walau uang sedikit di dompet yang penting aku dapat kiriman. Aku tau engkau butuh makan bu. Tapi kalau ditanya pasti makan sayur. Mau dikata apa tetap saja itu yang kau punya. Aku tau engkau sering bohong kepadaku. Engkau mengatakan tidak pernah absen membeli ikan, namun itu tidak benar. Kalau pun membeli ikan itu pasti untuk bapak. Engkau rela makan kuah ikan kalau bapak menginginkan ikan. Begitu banyak pengorbananmu bu.

Pernah suatu hari saat aku SMA ada program pengentasan buta aksara. Sepertinya itu program mahasiswa Untan. Aku tau engkau butuh ilmu tersebut. Namun engkau lebih memilih anakmu. "Aku telah tua jadi gak bisa membaca juga tidak masalah. aku mati pun nanti tidak akan ditanya malaikat pendidikan sampai mana", katanya. "Kalau memang ditanya maka aku menjawab dua hari saja aku sekolah setelah itu, entahlah. Adik-adikku lebih butuh makan dari pada sekolahku", lanjutmu.

Aku tak menemukan kata egois dari dirimu. Aku hanya tau engkau selalu ingin anaknya bahagia bukan dia. Engkau begitu tegar di luar. Namun aku tau engkau sering sakit. Bahkan mengatakan tidak sakit. Aku juga tau engkau setiap malam selalu memikirkan kami anak-anakmu walau kami jarang demikian. Bapak sering bilang engkau sering menyebut namaku.

Dari hati yang paling dalam aku ingin mengatakan aku sayang ibu.